Kawasan lembah seluas ratusan hektar itu mengundang kontroversi, namun pemerintah enggan bertindak. Warga hanya butuh penyelesaian, bukan aksi kekerasan.
Mobil BMW berwarna silver metalik itu berbelok pelan di persimpangan jalan menuju Lembah Karmel, di suatu sore, Kamis dua pekan lalu. Di belakangnya, mobil-mobil mewah beraneka jenis dan merek mengekor dengan perlahan pula. Plat nomor polisinya, kebanyakan Jakarta dan Bandung. Hari itu, menurut informasi petugas keamanan Lembah Karmel, ada pertemuan orang-orang penting.
Jumlah kendaraan yang memasuki lembah kian banyak seiring bergulirnya waktu. Lapangan parkir kawasan ziarah rohani itu pun penuh sesak. Itu baru hari Kamis, keramaian akan mencapai puncaknya di Minggu, ketika diadakan misa bersama. Misa ini dihadiri oleh para pengunjung yang kebanyakan datang dari luar kota.
Lembah Karmel adalah sebuah lokasi wisata rohani, tempat pertapaan salah satu ordo Katolik, juga tempat pembinaan para suster dan frater. Ibarat kata, Lembah Karmel adalah “pesantren” Katolik terbesar di Indonesia. Lokasinya di Desa Cikanyere, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Terletak pada ketinggian 800-950 meter di atas permukaan laut, luas lahan Lembah Karmel hampir mencapai 600 hektar. Terdiri dari perbukitan dan hutan lindung. Tak tanggung-tanggung, kawasan Karmel ini menguasai delapan bukit, mencakup empat desa di empat kecamatan.
Sejarah Lembah Karmel tidak lepas dari peran pendirinya, Romo Yohanes Indrakusuma. Perintisannya dimulai sejak tahun 1988 silam, digunakan sebagai tempat pertapaan dan pengasingan. Yohanes menyebut tempat nyepinya dengan sebutan Pertapaan Shanti Bhuana, letaknya sekitar 100 meter di bawah tempat yang sekarang. Pada tanggal 13 April 1996 diresmikanlah sebuah rumah retret yang diberinama Pondok Remaja Lembah Karmel.
Lembah Karmel kini dikenal sebagai tempat penyembuhan dan retret, selain sebagai pusat kegiatan kekatolikan. Retret adalah suatu kegiatan undur diri dari kehidupan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu, di tempat ini juga dilakukan penggodokan para suster dan frater yang nantinya akan menjadi penyebar misi-misi Injil ke berbagai penjuru.
Keberadaan Lembah Karmel yang semula tempat pertapaan, kemudian beralih fungsi menjadi pondok pembinaan remaja dan kini sebagai tempat kegiatan sosial keagamaan, mengundang protes sebagian pihak, terutama LSM dan ormas Islam. Mereka menuding Lembah Karmel telah melanggar aturan dan hukum yang berlaku.
Berbagai protes bermunculan terhadap Karmel, namun tidak mendapat tanggapan. Baik oleh Karmel sendiri ataupun aparat pemerintah setempat. Salah satu ormas Islam yang getol melakukan perlawanan adalah Gerakan Reformis Islam, disingkat GARIS. Ketua umumnya, H Chep Hernawan, melihat pelanggaran pidana Karmel tak terhitung banyaknya. Membangun tanpa izin, menyalahi aturan dan memporak-porandakan alam sekitarnya. “Janganlah berbicara masalah pemurtadan, pelanggaran pidana Karmel itu sudah seabrek, tapi kenapa tidak diapa-apain?” gugat H Chep.
Menurut dia, Lembah Karmel telah melanggar Keppres No. 114 tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur). Keppres ini memerintahkan pemerintah daerah Bopuncur untuk menjaga daerah resapan air guna mengantisipasi bencana banjir. Di kawasan Karmel kini telah berdiri sekian banyak bangunan yang mengorbankan pohon-pohon di sekitarnya. Padahal pepohonan ini berfungsi sebagai penyerap air dan penyangga hutan.
Pasal 12 ayat 1 Keppres No. 114 tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur) dengan tegas menyebutkan larangan mendirikan bangunan kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang merupakan bagian dari suatu jaringan atau transmisi bagi kepentingan umum seperti pos pengamatan kebakaran, pos penjagaan, papan petunjuk/penerangan, patok triangulasi, tugu, muara kereta kabel, tiang listrik dan menara televisi.
Lembah Karmel, kata Chep, tidak hanya membangun pondok dan rumah-rumah, tapi juga gereja, kapel, wisma, restoran dan pusat pertokoan. “Apakah ini tidak melanggar aturan?”
Selain Keppres, Lembah Karmel juga dianggap melanggar peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 Tahun 2006 Tentang Pendirian Rumah Ibadat. Sebelumnya, peraturan ini dikenal dengan sebutan SKB 2 Menteri. Pengurus Lembah Karmel melakukan manipulasi tandatangan warga setempat yang mayoritas Muslim. Aturan main membangun rumah ibadah tertuang dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Bersama Dua Menteri tersebut. “Semua aturan ini dilanggar oleh pengelola Lembah Karmel. Bagaimana bisa mendirikan gereja di tempat yang mayoritas Muslim?” ujar H Chep bernada tanya.Sejarah keberadaan Lembah Karmel di Cikanyere memang sarat kontroversi. Bupati Cianjur periode 2000-2005, Wasidi Swastomo, bahkan pernah memperingatkan secara tegas, karena izinnya disalahgunakan. Padahal sebelumnya, Wasidi sendiri yang memberikan ‘restu’ pada Karmel. Bermula dari surat permohonan dengan Nomor: 0031/05/YAR/01 tanggal 31 Mei 2001 Perihal Permohonan Ijin Pengalihan Fungsi dan Surat Nomor: 009/09/SPK/01 tanggal 9 September 2001 Perihal Permohonan Perubahan Nama Yayasan Antonius Rahmat menjadi Serikat Putri Karmel. Intinya, kedua surat permohonan ini meminta izin perubahan nama Pondok Remaja Lembah Karmel menjadi Rumah Retret dan Tempat Penziarahan Umat Katolik. Demikian pula, luas lahan yang semula 3,6 hektar bertambah menjadi 13,8 hektar. Berdasarkan berbagai pertimbangan, Wasidi pun menyetujui permohonan tersebut, namun dengan syarat. Diantaranya, pengelola Karmel tidak boleh membangun rumah ibadah, tidak boleh membangun atribut-atribut atau simbol-simbol keagaaman atau rumah peribadatan.
Nyatanya, Karmel menyalahgunakan izin tersebut. Wasidi gerah dan mengeluarkan Surat Peringatan (SP) pada tanggal 1 Agustus 2005 dengan nomor: 4532/2580/Kesbang. Intinya, larangan melakukan perubahan bangunan, bentuk atau jenis dan frekuensi kegiatan dan luas areal sebagaimana telah ditetapkan pada surat persetujuan sebelumnya. Bupati Wasidi juga meminta pengelola Karmel tidak melakukan tindak pidana yang dapat menimbulkan masalah SARA.
Tak berselang lama, Komisi I DPRD Kabupaten Cianjur pun melakukan sidak ke Lembah Karmel. Anggota dewan ingin melihat secara langsung keberadaan dan kegiatan di pusat pendidikan keagamaan Katolik itu. Sidak ini dilakukan karena dewan mendapat laporan dari masyarakat bahwa Lembah Karmel tidak dilengkapi izin resmi. Sebelumnya, DPRD Kabupaten Cianjur telah melayangkan surat resmi kepada Karmel, namun tidak mendapat tanggapan.
Warga melapor ke DPRD karena melihat Lembah Karmel membangun rumah-rumah rumbun di bagian tertinggi lembah. Rumah berukuran mungil ini digunakan untuk bertapa oleh para frater.
Instansi-instansi terkait seperti Bappeda, Cipta Karya dan BPN, mengaku belum pernah mengeluarkan izin untuk pembangunan rumah rumbun tersebut. Menurut Wakil Komisi I DPRD Cianjur saat itu, Mochamad Toha, pembangunan rumah rumbun bisa saja dihentikan jika memang menyimpang dari aturan. “Kami hanya merekomendasikan, tergantung pemerintah berani atau tidak menghentikan pembangunannya,” kata Toha.
Kuasa pimpinan Lembah Karmel, Suster Agatha menjelaskan, untuk perizinan pihaknya telah menempuh semua proses permohonan dan dilakukan secara bertahap. Menurut Suster Agatha, sejak dibangun sekira tahun 1986 silam, izin dari Pemkab Cianjur keluar secara bertahap sesuai dengan bangunan yang didirikan.
“Sejak kami mendapatkan izin prinsip dari pemerintah setempat sebagai lokasi wisata ziarah keagamaan, proses perizinan lain keluar secara bertahap dan tidak bersamaan langsung. Lagi pula pembangunan tempat inipun dilakukan secara bertahap,” ujar Suster Agatha sebagaimana dikutip Harian Pikiran Rakyat (Sabtu, 2/4/05). Kini, tak kurang dari 150 buah rumbun telah bercokol di puncak Lembah Karmel.
Selain sebagai tempat mencari kesembuhan dan retret, Lembah Karmel merupakan tempat penggodokan calon “pejuang” kristenisasi. Ratusan frater dan suster dari berbagai daerah di tanah air bahkan luar negeri, kini tengah dibina di lembah yang disebut-sebut sebagai Vatikan-nya Indonesia itu. Selain gereja sebagai penunjang aktivis gerakan, Karmel juga mempunyai tempat-tempat pertapaan yang disebut rumah rumbun tadi. Di sini para frater menyendiri dan bertapa. Rumah rumbun ini berbentuk rumah panggung dengan ukuran 2 x 3 meter, dengan ketinggian 3 meter.
Di kawasan rumah rumbun terdapat beberapa wisma sebagai tempat tinggal para frater. Sebuah aula yang hampir mirip bunker terdapat di depan wisma. Aula satu lantai ini dibangun ke dalam bukit, yang kelihatan di permukaan tanah hanyalah atapnya yang berwarna hijau dan separuh temboknya.
Patung-patung Yesus dan gambar Bunda Maria bertebaran tiap sudut ruangan. Di aula inilah para frater mendaras kajian-kajian teologi berbagai agama termasuk Islam. “Membaca al-Qur’an secara tajwid pun mereka sangat fasih,” ujar salah seorang sumber Sabili yang pernah bertugas di tempat ini. Aula ini termasuk dalam wilayah terlarang yang tak sembarang orang dapat memasukinya.
Sumber yang mantan karyawan dan kepercayaan Karmel ini menuturkan, Lembah Karmel merupakan tempat perkumpulan rahasia untuk merencanakan berbagai program kristenisasi di Indonesia. “Targetnya, 75% penduduk Indonesia harus menjadi Kristen,” ujarnya.
Guna mewujukan hal itu ditempuh berbagai macam cara. Diantaranya, memiskinkan warga desa sekitar, membeli tanah-tanah warga guna memperluas wilayah, mendekati tokoh-tokoh masyarakat setempat, menguasai TNI/Polri dan aparatur pemerintahan. “Itulah sebagian isi Sumpah Perjanjian Yesus yang sempat saya baca sebelum keluar dari sana, “ tutur sumber tersebut. “Kalau tak salah, ada sekitar 150-an butir isi perjanjian itu,” imbuhnya.
Selama bekerja di Karmel, sumber Sabili ini mengungkapkan, lima orang rekan kerjanya telah murtad. Kebanyakan, pekerja dari Malang yang murtad ini diiming-imingi kekayaan dan kemudahan hidup. “Mereka diberi rumah, gaji yang besar dan janji akan kemudahan masa depan.”
Dia memutuskan keluar dari Karmel karena tidak kuat menahan kuatnya godaan materi yang ditawarkan. Indoktrinasi romo, suster dan frater yang sangat kuat hampir-hampir membuatnya melepaskan akidah. Bahkan sebelum pengunduran dirinya disetujui, selama seminggu lebih dia ‘disterilasi’ terlebih dahulu. “Mungkin mereka takut saya akan membongkar kegiatan mereka,” ujarnya.
Tokoh masyarakat dan ulama Cianjur, Habib Yahya al-Kaff, meminta Karmel jangan sampai melakukan kristenisasi pada warga desa sekitar. “Kalau terjadi, kami tidak akan segan-segan melakukan tindakan tegas,” ancamnya.
Sebab, kata Yahya, mereka hidup di tengah-tengah umat Islam. Kalau mereka hidup di tengah-tengah umat Nasrani, tidak ada masalah. “Kita sudah banyak kecolongan sejak zaman LB Moerdani dulu. Karmel menjadi besar karena mendapatkan dukungan nasional bahkan internasional. Kita akan membuat gerakan besar untuk menutupnya,” tandas ulama yang dikenal tegas ini.
Pihak Karmel sendiri enggan buka suara. Berkali-kali Sabili mencoba konfirmasi, baik secara langsung maupun melalui sambungan telepon, namun tak mendapat tanggapan. Alasannya, tidak ada pengurus yang bisa diwawancarai. “Semuanya sedang di Jakarta. Tidak ada orang di sini,” ujar Wahyu, Satpam Lembah Karmel ketika dihampiri di suatu sore, Kamis pekan lalu.
Padahal, saat itu Lembah Karmel tengah dipadati para tamu dan pengunjung. Ketika ditanya siapa yang mengurusi mereka? Satpam bertubuh ceking itu menjawab, “Mereka hanya sewa tempat saja, bukan tamu. Coba Anda hubungi pengacara Lembah Karmel!”
Namun ketika dimintai alamat dan nomor kontak sang pengacara, dia mengelak, “Wah sudah lama dia tidak di sini lagi. Saya tidak tahu!”
Begitu pula ketika dihubungi via telepon dua hari kemudian, seorang petugas resepsionis yang enggan menyebutkan nama itu, memberikan jawaban yang sama dengan si Satpam. “Tidak ada orang. Semua sedang ke Jakarta.”
Air Mampet Mengundang Murka
Asep menatap hampa hamparan sawah di hadapannya. Padi yang baru tumbuh itu justru menciptakan kegalauan di hatinya. Maklum, hujan belum jua turun, padahal musim kemarau sudah lama usai. Kakek lima cucu ini khawatir, jika debit air masih tidak lancar, padinya akan terancam. Biasanya air mengalir deras walau musim kemarau panjang sekalipun. Lima sumber air di atas bukit pinggiran desanya, selalu memasok air yang berkecukupan bagi warga Desa Cikanyere dan sekitarnya.
Petani tua itu merasa ada keganjilan dengan menurunnya jumlah air yang masuk ke sawahnya dua hari terakhir. Asep pun mencoba memeriksa salah satu sumber air yang terletak di bukit Legok Nyenang. Alangkah kagetnya lelaki yang dulunya dikenal sebagai pendekar ini. Sumber air Legok Nyenang melimpah ruah dengan air, namun tidak mengalir ke bawah sebagaimana biasanya. “Bagaimana mungkin, air penuh tapi tidak mengalir ke bawah,” pikirnya.
Dia pun segera memeriksa seputar sumber dengan teliti. Di pinggiran mata air dia menemukan sebuah pipa paralon yang tertanam dalam tanah. Pipa inilah yang ternyata menyedot air sumber yang demikian melimpahnya itu. Asep pun segera turun dan memberitahukan warga desa tentang apa yang ditemuinya. Warga desa yang selama ini merasa kekurangan air pun segera berkumpul dan naik ke bukit Legok Nyenang.
Mereka memeriksa lebih teliti kemana arah paralon itu mengalirkan air. Ternyata, ke arah Lembah Karmel. Pantas saja selama ini warga kekurangan air, tak tahunya dicuri Karmel. Mereka pun menuntut Karmel agar membongkar pipa tersebut dan membiarkan air mengalir seperti biasanya. “Air itu milik warga desa karena berasal dari hutan lindung, bukan milik Karmel,” kata Asep.
Kepala Desa Cikanyere saat itu, M Damin memprakarsai pertemuan antara warga desanya dengan pihak Karmel yang diwakili oleh Sumardi dan Widjanarko. Pertemuan yang berlangsung pada pukul 20.00 WIB tanggal 16 April 2004 silam itu malah dijadikan ajang oleh Karmel untuk memaparkan proyek pembangunan penampungan air yang akan segera direalisasikan. Tentu saja warga desa menolak. Air yang turun dari sumber di Legok Nyenang hanya cukup untuk mengairi sawah warga malah akan dialirkan ke Karmel.
Pertemuan batal tanpa hasil. Warga desa kemudian berinisiatif memeriksa semua sumber air di lima bukit di seputar desa seperti bukit Legok Sumedang, Kuta, Jaduta, Penyirapan, Batu Tumpang, Tapal Kuda dan tentu saja bukit Legok Nyenang.
Benar saja, setelah memeriksa semuanya, rata-rata sumber air itu telah dipasangi paralon di bawahnya. Semua sumber air telah dicuri dan dialirkan ke Lembah Karmel. Kemarahan warga sudah tak terbendung lagi. Tanpa basa-basi lagi, mereka merusak semua pipa paralon yang mengarah ke Karmel.
Kehidupan pun berjalan seperti sediakala. Warga desa yang sebagian besar petani dan buruh tani itu kembali menggumuli sawah. Air kembali mengalir lancar. Keharmonisan warga ternyata tidak berlangsung lama. Beberapa bulan kemudian, air kembali mampet dan tidak lagi mengalir. Mereka kembali berkumpul dan memeriksa semua sumber air, ternyata bekas perusakan masih ada.
Pipa paralon yang diputus beberapa waktu lalu masih menempel di tepian dinding mata air. Tapi kenapa air masih saja tidak mengalir ke bawah? Warga kembali memeriksa secara lebih teliti, namun tidak mendapatkan apa-apa. Mereka pun turun bukit dan pulang, setelah memecah sebagian dinding tanah agar air turun lagi.
Malam harinya, Darwis (bukan nama sebenarnya) datang menemui Ustadz Ujang, salah seorang tokoh desa setempat yang juga pengurus LSM bernama GERAM (Gerakan Rakyat Anti Madat) wilayah Sukaresmi. Kepada Ujang, Darwis menceritakan dirinya pernah membangun bunker penampungan air di semua bukit tempat sumber air tersebut. Dia pun bersedia menunjukkan dimana lokasi pipa-pipa yang ditanamnya hingga tak kelihatan dari permukaan tanah.
Keesokan harinya, bersama puluhan warga Desa Cikanyere, Ujang mengikuti langkah Darwis ke arah bukit Legok Nyenang. Darwis meminta warga menggali tanah di bawah bekas paralon yang dulu sempat dirusak dan dibiarkan menggelantung di dinding sumber air. Kira-kira pada kedalaman satu meter lebih, ditemukan lagi pipa paralon yang menyedot air dari sumber dan dialirkan ke bunker penampungan yang terletak sekitar 100 jauhnya.
Bunker penampungan air ini berbentuk lingkaran berdiameter 10 meter dengan kedalaman 5 meter. Menurut Darwis, dia menggali bunker ini selama sepuluh hari bersama enam orang temannya. Bunker air yang telah ditutupi cor semen di sekelilingnya itu memang sulit dibongkar warga dengan peralatan seadanya. Karena tertutup tanah perbukitan, tak heran jika warga tidak mengetahui letaknya.
Kemarahan warga desa seakan mencapai puncak didihnya. Dengan geram mereka kembali menuntut pihak Karmel agar membongkar bunker tersebut, namun tidak mendapat respon. Aparat keamanan dan kecamatan, setali tiga uang. Seolah tak berkutik menghadapi Karmel. Warga pun tak berdaya. Malah mereka kerap mendapatkan teror dari kepolisian jika berani mengusik air yang dicuri Karmel. Warga pun hanya bisa pasrah.
Tiga tahun kemudian, di suatu malam, tanggal 09 Mei 2007 lalu, kepasrahan warga telah mencapai ambang batas. Dua orang warga desa ditahan oleh polisi karena dituduh mencuri kayu bakar di Lembah Karmel, padahal mereka mendapatkan kayu dari hutan lindung.
Kedongkolan warga pun seolah mendapatkan pemantik. Penahanan dua orang pencari kayu bakar itu adalah pintu masuk melakukan pembalasan terhadap Karmel. Mereka pun melakukan perusakan di kawasan tempat pembinaan para missionaris tersebut. “Orang yang mencari kayu bakar ditangkap dan ditahan, sementara Karmel yang mencuri air kok dibiarkan?” kata Asep.
Menurut Asep, keberadaan Karmel telah menyengsarakan rakyat dalam mendapatkan air, karena mereka curi. Air adalah barang paling vital bagi kehidupan. “Selama masalah air ini belum tuntas warga akan tetap menuntut,” ujarnya.
Kasdi, teman sekampung Asep menyatakan perang melawan Karmel selama mereka belum memberesi masalah air ini. “Enak saja mereka, sawah kita butuh air, mereka tutup dari atas. Kita bongkar, mereka buat lagi penampungan baru, begitu seterusnya. Kalau sampai musim kemarau nanti sawah kita kekeringan, saya akan perang dengan Karmel,” kata petani yang masih terlihat kekar di usia tuanya itu.
Kasdi mengaku telah mengoordinir beberapa pentolan pendekar di Desa Cikarenye dan sekitarnya untuk menyerang Karmel. Bahkan secara terbuka dia mengajak Ustadz Ujang untuk melakukan serangan, karena Karmel sudah tak bisa diajak damai lagi. Namun, Ujang menahannya untuk tetap bersabar terlebih dahulu. “Jika waktunya tiba, baru kita bertindak,” kata Ujang.
Anehnya, pengurus Lembah Karmel, Camat Sukaresmi Tulus Budiono dan Kapolsek Sukaresmi IPTU Katamsi, kompak menutupi kasus penyerangan warga tersebut. Ada apa?
Seperti hari itu, ketika baru saja dihampiri di kantor kecamatan, Tulus Budiono sudah langsung berteriak, “No comment!” dengan tampang tidak bersahabat sama sekali.
Ketika diterangkan maksud konfirmasi secara baik-baik, lulusan IPDN itu malah membentak. “Saya tidak mau disibukkan dengan urusan begini. Kalau masalah kriminal, tanya ke Polsek!”
Tulus mengatakan, adalah haknya tidak mau ngomong. “Terserah Anda mau nulis apa. Sudah ya, saya banyak kerjaan!” kata Pak Camat yang dipanggil biyong (makelar tanah) oleh warganya itu lalu mengambil kertas di hadapannya dan berpura-pura menulis sesuatu.
Adapun Kapolsek Sukaresmi, IPTU Katamsi menyatakan, tidak ada penyerangan warga ke Lembah Karmel. “Itu hanya isu. Kalau ada penyerangan warga terhadap warga, tentu saja akan masuk media massa. Buktinya tidak ada media massa yang memberitakannya,” ujar Kapolsek kelahiran Palembang itu.
Tentu saja, media tidak akan memberitakan kasus ini karena mereka telah “dikondisikan” terlebih dahulu. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang anggota Polsek Sukaresmi, yang tidak mau namanya disebutkan. “Media dari televisi dan koran telah dikondisikan ketika akan meliput kasus itu,” ujarnya.
Menurut Katamsi, masyarakat desanya selalu dalam keadaan kondusif, tidak pernah ada masalah. Tidak ada pertentangan antara warga dan Lembah Karmel. Dia juga menolak tudingan bahwa Lembah Karmel sebagai pusat kristenisasi sebagaimana kecurigaan warga. “Warga di sini malah mendukung Karmel karena mereka mendapatkan keuntungan secara ekonomis. Bisa berjualan atau bekerja di sana,” katanya.
Sebagian warga Kampung Bale Kambang, Desa Cikanyere memang menjadi pendukung Karmel. Alasan mereka, selain memperoleh keuntungan ekonomi, Karmel juga sering membantu kampung jika mengadakan suatu kegiatan. “Tiap acara Agustusan, Karmel selalu memberikan bantuan kepada kami,” ujar Lah, warga Bale Kambang.
Bagi lelaki yang berjualan makanan di kawasan Lembah Karmel ini, selama suster dan frater tidak memaksakan kehendaknya untuk menyuruh warga pindah agama, maka dia dan rekan-rekannya akan tetap mendukung. “Kita kan tidak dilarang berhubungan dengan mereka, sepanjang tidak menyangkut masalah agama,” katanya polos.
Bale Kambang adalah kampung yang terdekat dengan Lembah Karmel. Tak kurang dari 100 rumah warga berdiri di sini. Tak heran, karena kedekatan lokasi dengan Lembah Karmel, penduduk setempat bebas keluar masuk.
Ustad Ujang merasa prihatin dengan sikap warga Bale Kambang yang tidak begitu peduli dengan perilaku Karmel tersebut. “Mereka memang pintar mencari dukungan warga kampung, sehingga mendapatkan pendukung. Namun, kami akan tetap menuntut masalah air ini segera dibereskan. Kalau tidak, kita akan bertindak lebih keras,” tegasnya.
Kisah Pencari Kayu Bakar
Ikatan kayu terakhir baru saja diturunkan Spl dan Sns dari hutan lindung Cibeureum. Mobil bak terbuka yang akan mengangkut kayu-kayu yang telah dua hari mereka kumpulkan telah menunggu. Kayu bakar jenis kaliandra itu satu-persatu mereka naikkan ke atas bak dibantu Atg, sang kenek.
Salah seorang pengurus Lembah Karmel bernama Suster Margareta, tiba-tiba muncul dari kejauhan. Dengan sepeda motornya, sang suster mendekat memperhatikan mereka yang tengah menaikkan kayu ke mobil. Tanpa berucap kata, dia pun segera berlalu dari hadapan Spl dan kawan-kawan.
Hari hampir menjelang pukul 16.00 sore, Rabu dua pekan lalu, ketika ikatan terakhir dinaikkan. Mobil tua yang disopiri Mang Ocm itu pun menderu. Spl dan Sns duduk di samping Pak Sopir yang sedang sibuk bekerja, sementara di bak belakang, si Atg duduk manis di atas tumpukan kayu.
Di pos penjagaan pintu masuk Lembah Karmel, mereka dicegat oleh Camat Sukaresmi, Tulus Budiono dan Satpam bernama Deden. Margareta ternyata telah menunggu di dalam pos rupanya. Sang Camat yang berlagak bak polisi segera menginterogasi Spl.
“Ini kayu darimana?” tanyanya.
“Dari hutan,” jawab Spl.
“Bukan dari Karmel?”
“Bukan, Pak. Ini dari hutan,” tegas Spl.
Tiba-tiba mobil Patroli Polsek Sukaresmi datang menghampiri mereka. Seorang petugas turun dari mobil dan langsung menginterogasi Spl dan kawan-kawannya. Seolah menyambung lidah sang camat.
“Ini kayu darimana?”
“Dari hutan, Pak?” jawab Spl seperti semula.
“Wah kamu ini, banyak banget bawa kayu. Udah, ikut saja ke kantor!” perintah Pak Polisi.
“Ya, udah bawa aja semuanya ke kantor!” timpal Pak Camat tak mau kalah gertak.
Apes benar nasib keempat orang itu. Mengambil kayu bakar di hutan lindung, dituduh mencuri di Lembah Karmel. Padahal, warga desa sudah tidak berani lagi mencari kayu bakar di seputar Lembah Karmel. Selain mudah menuduh orang mencuri, pengurus Lembah Karmel memang tak segan-segan memanggil polisi jika melihat warga desa mencari kayu bakar di tempat mereka.
Di kantor Polsek, keempat orang itu diinterogasi secara resmi oleh petugas Andri dan Apri. Tulus Budiono, bak pahlawan kesiangan turut memperhatikan proses interogasi terhadap warganya itu. Si petugas kembali melontarkan pertanyaan yang sama.
“Yang benar, ini kayu dari mana?”
“Dari hutan, Pak?” jawab Spl sejujurnya.
“Bukannya dari Karmel?” selidik si petugas.
“Bukan, saya cuma numpang lewat saja,” Spl menegaskan.
Proses interogasi kemudian berlangsung hingga menjelang Maghrib. Kakak Spl bernama Abd segera menemui Ustadz Ujang, Ketua GARIS Kecamatan Sukaresmi, dan menceritakan kejadian yang dialami adiknya.
Ujang pun segera menelpon Kapolsek Sukaresmi IPTU Katamsi, menanyakan masalah Spl dan Sns. Kenapa sampai ditahan gara-gara mengambil kayu bakar?
“Wah, itu bukan mengambil, tapi mencuri,” suara Kapolsek di ujung telpon.
“Mencuri bagaimana, Dan?” tanya Ujang.
“Iya, mencuri. Anda harus mengerti,” kata Kapolsek.
Karena hari menjelang malam, Ustadz Ujang memohon kepada Kapolsek agar membebaskan dulu Spl dan Sns. Pemeriksaan dapat dilanjutkan kembali esok hari. Namun, Katamsi tetap ngotot melanjutkan pemeriksaan. Ujang pun mencoba menelpon Camat Tulus Budiono. Jawabannya, tak jauh beda dengan Kapolsek.
Sementara, Spl dan Sns ditahan. Beberapa warga mulai berdatangan dan kumpul di rumah Ujang. Ustadz itu pun kembali menelpon Camat, memberitahukan kedatangan warga yang kian banyak.
“Ya, sudah suruh mereka menghadap saya,” kata Tulus dengan ketus.
“Menghadapi bagaimana, Pak?” tanya Ujang.
“Ya, sudah terserah, Ustadz?” timpal camat alumni IPDN itu lebih ketus.
Massa yang berkumpul bertambah banyak. Mereka kemudian bergerak ke arah kantor Polsek. Malam telah purna dengan tenggelamnya mentari di ujung barat. Entah bagaimana ceritanya, massa dari luar Desa Cikarenye juga turut berdatangan. Luapan manusia yang berjumlah sekitar 500 orang itu pun berbondong-bondong ke arah Polsek. Di pertigaan jalan yang menuju Lembah Karmel, warga memecahkan diri. Sebagian terus berjalan ke depan, sebagian lagi berbelok menujuk Lembah Karmel.
Di kantor Polsek, Ustadz Ujang mencoba bernegoisasi dengan aparat keamanan yang memeriksa Spl dan Sns. Akhirnya Spl dan Sns dikeluarkan. Namun, warga yang berarak ke arah Lembah Karmel tak mau datang tanpa hasil. Setelah berorasi menuntut pembebasan Spl dan Sns, mereka segera merusak apa saja yang nampak di depan mata. Petugas keamanan tak mampu membendung kemarahan warga.
Pengurus Lembah Karmel, baik suster, frater maupun karyawannya tak satu pun yang menampakkan batang hidungnya. Entah mereka bersembunyi dimana. Tiba-tiba lampu-lampu penerangan dipadamkan. Gelap-gulita menyelimuti alam sekitarnya. Kemarahan warga seolah kian memuncak. Hasilnya, lampu-lampu dan kaca-kaca jendela bangunan dihancurkan lebih hebat lagi.
Aparat keamanan di Polsek yang kecolongan segera berlarian ke Lembah Karmel diikuti Camat. Warga desa yang murka itu melihat Tulus muncul dari kegelapan menghampiri mereka. Dari mulutnya tercium bau minuman keras. Kontan saja salah seorang warga membekap mulutnya, sementara yang lain menghajarnya hingga babak belur. Warga desa tidak ada yang tahu bahwa mereka sikat adalah Pak Camat. Mereka mengira Tulus Budiono adalah salah seorang frater.
Selain arogan, Tulus dikenal jarang menyambangi warganya. Hal ini diungkapkan oleh salah seorang staf Kecamatan Sukaresmi yang enggan disebutkan namanya. “Sikapnya memang angkuh dan jarang bergaul dengan warga. Bagaimana bisa memimpin warga kalau begitu,” ujar staf tersebut. “Khas alumni IPDN!” tambahnya.
Ustadz Ujang, segera ke lokasi setelah pelepasan Spl dan Sns. Dia meminta warga agar segera menghentikan serangan dan kembali pulang. Awalnya warga enggan kembali, mereka tetap ngotot menghancurkan pertapaan Karmel.
Namun, setelah dijelaskan panjang lebar, barulah mereka berhenti melampiaskan kemarahan dan beranjak turun. Di sepanjang jalan, mereka terus melakukan perusakan atribut-atribut Karmel, baik yang berupa papan nama maupun penunjuk jalan.
Sebenarnya, tidak kali ini saja Lembah Karmel dan aparat kepolisian berlaku sewenang-wenang terhadap warga yang mencari kayu bakar. Tiga tahun silam, 22 orang warg Kampung Bale Kambang, Desa Cikanyere, pernah ditahan polisi gara-gara kayu bakar. Mereka diwajibkan membayar uang Rp 8 juta sebagai uang jaminan.
Pada waktu itu warga Bale Kambang diminta oleh salah seorang pengurus Karmel untuk mengambil kayu bekas di lahan bekas pembangunan gedung. Sebanyak 22 orang warga kampung segera naik dan mengambilnya untuk dijadikan kayu bakar. Kodar, warga Bale Kambang, termasuk salah seorang diantara mereka.
Setelah mendapatkan kayu yang dirasa cukup, warga pun kembali ke rumah-masing yang memang terletak persis di bawah Lembah Karmel. Tak dinyana, kejadian itu berbuntut penahanan. Ke-22 orang itu ditangkap dan ditahan polisi dengan tuduhan telah mencuri kayu. Namanya orang kampung yang lugu dan tak tahu apa-apa, mereka manut saja ketika digelandang ke kantor polisi.
Delapan orang diantara mereka ditahan selama sehari, sisanya diperbolehkan pulang. Kodar termasuk orang yang ditahan. Polisi meminta semua warga yang mengambil kayu membayar uang jaminan. Kalau tidak mereka akan ditahan lebih lama lagi. “Akhirnya, kami patungan untuk membayar jaminan itu. Kata polisi, uang itu untuk beli rokok, biar tidak dilanjutin kasusnya. Saya sendiri harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 460 ribu,” tutur Kodar.
Sebagai orang kampung, kata Kodar, dia dan teman-temannya tidak berani omong banyak. Sebab, kalau salah omong, bisa ditahan lagi. Kini, pekerja serabutan ini tidak berani lagi naik ke Lembah Karmel, walau hanya lewat untuk mencari kayu bakar di hutan. “Saya trauma, nanti ditahan lagi.”
Kapolsek Sukaresmi, IPTU Katamsi, enggan berkomentar ketika disinggung masalah kayu bakar ini. “Masalah kayu, sudah beres!” katanya singkat tanpa mau menjelaskan apa yang dimaksud dengan beres.
Tak heran, kata Ujang, jika warga desa muak dengan sikap dan perilaku aparat pemerintah ataupun kepolisian yang tidak adil terhadap mereka. “Kenapa polisi hanya berani menindak rakyat kecil yang mencari kayu bakar di hutan, tapi tidak berani menindak Karmel yang menebang banyak pepohonan untuk membuat areal pertapaan? Benar-benar tidak adil!” katanya geram.
Jika masalah ini tidak diselesaikan dengan baik, kata sebagian warga, Poso kedua akan terjadi di Cikanyere. Tentu kita tidak ingin hal itu terjadi.
2 komentar:
siapapun yang mengkobarkan perang atau mencari cari masalah dengan hak kebebasan umat beragama adalah PKI murni,jangan merusak atau memprovokasi rakyat yang tidak tahu menahu inti permasalahannya,berbicara tentang ijin atau hak,coba reflesikan diri sendiri.bicara harus jujur dan jelas,jangan mengatasnamakan agama,semua agama baik dan benar di mata TUHAN,dan negara kita berazaz PANCASILA,masih inget tdk sekolah dulu ??kasian org2 yg sirik ,seperti tdk ada kerjaan dan jelas sekali takut kalah.
GOD BLESS U ALL
Salam damai,
siapapun yang membuat perusakaan dan memprovokasi rakyat,serta membodohi,apalagi menganut SARA dan bertentangan dgn PANCASILA adalah jelas PKI murni.kita harus merefleksikan dulu diri sendiri baru memberi comment,sudah ckp bangsa kita di bodohi oleh oknum2 yang tdk bertanggung jawab dan mengatasnamakan suatu agama.jangan membicarakan ijin dan apapun pelanggaran,akuilajh dengan jujur dalam hati,sebenarnya siapa yg salah dan siapa yg beragama.
God bless u all
Posting Komentar